Artikel:
Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keberadaan Pedagang Kaki Lima

Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan.
Nama & E-mail (Penulis): Th. Agung M. Harsiwi
Saya Dosen di Yogyakarta
Tanggal: 17 Maret 2003
Topik: Street hawkers, operation and capital management, economic crisis

Artikel:

Artikel ini dimuat dalam MODUS : JURNAL EKONOMI DAN BISNIS Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Volume 14 (1), 2002 yang merupakan hasil penelitian DOSEN MUDA 1999/2000, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
DAMPAK KRISIS EKONOMI TERHADAP KEBERADAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN MALIOBORO
Studi Pada Aspek Manajemen dan Pengelolaan Modal

Heribertus Andre Purwanugraha
Th. Agung M. Harsiwi

Abstract :
Street hawkers are one of informal business forms in the area of Malioboro, Yogyakarta. This research addresses the operation and the capital management of those street hawkers. It also identifies the impact of the economics crisis on their existence their business in terms of those two aspects Furthermore, this research also discusses the efforts of some organizations or parties to empower these street hawkwers with regard to the economic crisis. The research involved 200 street hawkers in Malioboro area and used interview to fill out the questionnaire. The method of data analysis include percentage, chi-square, t-test, and descriptive analysis. The result of this research shows that the impact of economic crisis on management and capital aspects does not significantly influence the business of the street hawkers. These phenomena prove that the street hawkers are able to survive, even under the crisi condition.. The empowerment efforts for street hawkers in Malioboro are not effective due to the lack of attention of the designated organizations and parties.
Keywords: street hawkers, operation and capital management, and economic crisis

Pendahuluan
Dualisme kota dan desa yang terdapat di Indonesia, seperti negara-negara berkembang lainnya telah mengakibatkan munculnya sektor formal dan sektor informal dalam kegiatan perekonomian. Urbanisasi sebagai gejala yang sangat menonjol di Indonesia, tidak hanya mendatangkan hal-hal positif, tetapi juga hal-hal negatif. Sebagian para urbanit telah tertampung di sektor formal, namun sebagian urbanit lainnya -tanpa bekal ketrampilan yang dibutuhkan di kota tidak dapat tertampung dalam lapangan kerja formal yang tersedia. Para urbanit yang tidak tertampung di sektor formal pada umumnya tetap berstatus mencari pekerjaan dan melakukan pekerjaan apa saja untuk menopang hidupnya.

Sektor informal muncul dalam kegiatan perdagangan yang bersifat kompleks oleh karena menyangkut jenis barang, tata ruang, dan waktu. Berkebalikan dengan sektor formal yang umumnya menggunakan teknologi maju, bersifat padat modal, dan mendapat perlindungan pemerintah, sektor informal lebih banyak ditangani oleh masyarakat golongan bawah. Sektor informal dikenal juga dengan 'ekonomi bawah tanah' (underground economy). Sektor ini diartikan sebagai unit-unit usaha yang tidak atau sedikit sekali menerima proteksi ekonomi secara resmi dari pemerintah (Hidayat, 1978). Sektor informal ini umumnya berupa usaha berskala kecil, dengan modal, ruang lingkup, dan pengembangan yang terbatas.

Sektor informal sering dijadikan kambing hitam dari penyebab 'kesemrawutan lalu lintas' maupun 'tidak bersihnya lingkungan'. Meskipun demikian sektor informal sangat membantu kepentingan masyarakat dalam menyediakan lapangan pekerjaan dengan penyerapan tenaga kerja secara mandiri atau menjadi safety belt bagi tenaga kerja yang memasuki pasar kerja, selain untuk menyediakan kebutuhan masyarakat golongan menengah ke bawah. Pada umumnya sektor informal sering dianggap lebih mampu bertahan hidup 'survive' dibandingkan sektor usaha yang lain. Hal tersebut dapat terjadi karena sektor informal relatif lebih independent atau tidak tergantung pada pihak lain, khususnya menyangkut permodalan dan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan usahanya.

Dalam situasi krisis ekonomi dewasa ini, setiap usaha di sektor informal dituntut memiliki daya adaptasi yang tinggi secara cepat dan usaha antisipasi perkembangan dalam lingkungan usaha agar usaha di sektor informal tersebut dapat bertahan dalam keadaan yang sulit sekalipun. Di balik era perubahan yang terus-menerus terjadi, tentunya ada peluang usaha yang dapat dimanfaatkan secara lebih optimal. Dalam hal ini usaha di sektor informal diharapkan mampu mengidentifikasi peluang yang muncul akibat adanya perubahan tersebut.

Pedagang kaki lima (street trading/street hawker) adalah salah satu usaha dalam perdagangan dan salah satu wujud sektor informal. Pedagang kaki lima adalah orang yang dengan modal yang relatif sedikit berusaha di bidang produksi dan penjualan barang-barang (jasa-jasa) untuk memenuhi kebutuhan kelompok tertentu di dalam masyarakat, usaha tersebut dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana lingkungan yang informal (Winardi dalam Haryono, 1989).

Pedagang kaki lima pada umumnya adalah self-employed, artinya mayoritas pedagang kaki lima hanya terdiri dari satu tenaga kerja. Modal yang dimiliki relatif tidak terlalu besar, dan terbagi atas modal tetap, berupa peralatan, dan modal kerja. Dana tersebut jarang sekali dipenuhi dari lembaga keuangan resmi, biasanya berasal dari sumber dana ilegal atau dari supplier yang memasok barang dagangan. Sedangkan sumber dana yang berasal dari tabungan sendiri sangat sedikit. Ini berarti hanya sedikit dari mereka yang dapat menyisihkan hasil usahanya, dikarenakan rendahnya tingkat keuntungan dan cara pengelolaan uang. Sehingga kemungkinan untuk mengadakan investasi modal maupun ekspansi usaha sangat kecil (Hidayat, 1978).

Mereka yang masuk dalam kategori pedagang kaki lima ini mayoritas berada dalam usia kerja utama (prime-age) (Soemadi, 1993). Tingkat pendidikan yang rendah dan tidak adanya keahlian tertentu menyebabkan mereka sulit menembus sektor formal. Bidang informal berupa pedagang kaki lima menjadi satu-satunya pilihan untuk tetap mempertahankan hidup. Walaupun upah yang diterima dari usaha pedagang kaki lima ini di bawah tingkat minimum, tapi masih jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan mereka di tempat asalnya.

Lokasi pedagang kaki lima sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan kelangsungan usaha para pedagang kaki lima, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pula volume penjualan dan tingkat keuntungan. Secara garis besar kesulitan yang dihadapi oleh para pedagang kaki lima berkisar antara peraturan pemerintah mengenai penataan pedagang kaki lima belum bersifat membangun/konstruktif, kekurangan modal, kekurangan fasilitas pemasaran, dan belum adanya bantuan kredit (Hidayat,1978).

Dalam praktek, pedagang kaki lima sering menawarkan barang-barang dan jasa dengan harga bersaing atau bahkan relatif tinggi, bahkan terkesan menjurus ke arah penipuan. Hal ini tentu saja menimbulkan citra yang negatif tentang pedagang kaki lima. Adanya tawar-menawar (bargaining) antara penjual dan pembeli inilah yang menjadikan situasi unik dalam usaha pedagang kaki lima. Pada umumnya pedagang kaki lima kurang memperhatikan masalah lingkungan dan faktor hygiene sebagai produk sampingan yang negatif. Masalah lingkungan berkaitan erat dengan kepadatan, misalnya kepadatan lalu lintas maupun kepadatan tempat.

Bertitik tolak dari uraian di atas, penelitian ini mencoba meneliti hal-hal yang berhubungan dengan aspek manajemen dan aspek pengelolaan modal pada pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro sebagai salah satu bentuk usaha sektor informal. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (1) Bagaimana manajemen usaha yang dilakukan oleh pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro ? (2) Bagaimana pengelolaan modal yang dilakukan oleh pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro ? (3) Bagaimana dampak krisis ekonomi terhadap manajemen usaha dan pengelolaan modal yang dilakukan oleh pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro ? (4) Bagaimana usaha pemberdayaan pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro oleh pihak-pihak terkait?

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manajemen usaha dan pengelolaan modal yang dilakukan oleh pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro, Selanjutnya penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui dampak krisis ekonomi terhadap keberadaan pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro dalam manajemen usaha dan pengelolaan modalnya, serta untuk mengetahui usaha pemberdayaan bagi pedagang kaki lima oleh organisasi atau pihak terkait sebagai bentuk perhatian dan pemecahan masalah terhadap kondisi krisis ekonomi saat ini.

Metode penelitian
Dalam penelitian ini terdapat 4 variabel utama yang akan diteliti, yaitu (1) manajemen usaha pedagang kaki lima, (2) pengelolaan modal pedagang kaki lima, dan (3) dampak krisis ekonomi terhadap manajemen usaha dan pengelolaan modal pedagang kaki lima, serta (4) usaha pemberdayaan pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro oleh pihak-pihak terkait.

Penelitian survei ini menggunakan kuesioner yang diisi melalui wawancara oleh 10 tenaga enumerator dan ditanyakan kepada 200 pedagang kaki lima yang berdagang di Kawasan Malioboro sebagai responden penelitian. Metode analisis data yang digunakan adalah metode persentase, pengujian perbedaan dengan metode chi-square dan uji-t untuk melihat ada atau tidaknya dampak krisis ekonomi terhadap manajemen usaha dan pengelolaan modal usaha ditinjau dari berbagai aspek.

Hasil penelitian
Kawasan Malioboro dihuni oleh berbagai macam pedagang kaki lima, antara lain : pedagang kaki lima yang berjualan dari pagi sampai malam hari yang berjualan bermacam-macam barang dagangan dan menghadap pertokoan - umumnya mereka anggota Koperasi Tri Dharma; pedagang kaki lima yang berjualan malam sampai pagi hari atau dikenal sebagai pedagang makanan lesehan - umumnya mereka juga merupakan anggota Koperasi Tri Dharma; pedagang kaki lima yang membuat atau menjual barang-barang kerajinan yang biasanya membelakangi pertokoan yang tergabung dalam Paguyuban Pemalni; dan pedagang kaki lima liar yaitu pedagang kaki lima yang tidak menjadi anggota Koperasi Tri Dharma maupun Paguyuban Pemalni yang berjualan di Kawasan Malioboro.

Profil Responden
Responden penelitian ditinjau dari aspek demografisnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1
Profil Responden
ASPEK-ASPEK DEMOGRAFIS FREKUENSI (PERSENTASE) ASPEK-ASPEK DEMOGRAFIS FREKUENSI (PERSENTASE)
Umur
Kurang dari 20 tahun 11 (5,5%)
21 - 30 tahun 69 (34,5%)
31 - 40 tahun 55 (27,5%)
41 - 50 tahun 44 (22,0%)
51 - 60 tahun 16 (8,0%)
Lebih dari 61 tahun 5 (2,5%)

Pendidikan Formal
Tidak Sekolah 8 (4,0%)
Tidak Lulus SD 8 (4,0%)
Lulus SD 45 (22,5%)
Lulus SLTP 62 (31,0%)
Lulus SMU 68 (34,0%)
Lulus PT 9 (4,5%)

Jenis Kelamin
Laki-laki 133 (66,5%)
Perempuan 67 (33,5%)

Status Kartu Tanda Penduduk
Penduduk DIY 178 (89,0%)
Penduduk Luar DIY 22 (11,0%)

Status Perkawinan
Belum kawin 58 (29,0%)
Kawin 141 (70,5%)
Bercerai mati 1 (0,5%)
Sumber : Data Primer (1999)

Sebagian besar responden berumur antara 21 sampai 30 tahun (34,5%) dan terdiri dari 33,5% laki-laki dan 66,5% perempuan yang tergolong angkatan kerja produktif. Mayoritas berumah tangga atau kawin (70,5%), berstatus KTP sebagai penduduk DIY (89,0%), berpendidikan formal lulus SMU (34,0%), lulus SLTP (31,0%), lulus SD (22,5%), dan lulus PT (4,5%), sisanya 8,0% tidak lulus SD dan 8,0% tidak sekolah. Pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro secara umum cukup berpendidikan (terbukti mayoritas telah lulus SLTP ke atas), namun karena persaingan mencari kerja yang begitu ketat dan kurangnya ketrampilan untuk memasuki dunia kerja di sektor formal, maka pilihan menjadi pedagang kaki lima menjadi salah satu alternatif pekerjaan.

Manajemen Usaha dan Pengelolaan Modal Pedagang Kaki Lima Malioboro
Manajemen usaha pedagang kaki lima mencakup asal barang dagangan, penentu harga barang dagangan, kelayakan harga barang dagangan, sikap terhadap pembeli, pengelolaan hasil usaha, waktu berjualan sekarang. Sedangkan pengelolaan modal usaha pedagang kaki lima mencakup sumber modal usaha, asal modal usaha, jumlah modal usaha awal, taksiran nilai barang dagangan dan peralatan, pendapatan bersih rata-rata per bulan, banyaknya kebutuhan dari penggunaan pendapatan bersih rata-rata per bulan, dan hambatan pengelolaan modal usaha.

Asal barang dagangan yang diperdagangkan oleh pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro sebagian besar membeli dari orang lain dan adanya pemasok tetap. Harga barang dagangan sebagian besar ditentukan oleh penjual, berarti penjual masih mempunyai 'kekuatan' dalam manajemen usahanya, khususnya menyangkut penentuan harga jual. Namun demikian penentu harga barang dagangan berikutnya adalah penjual dan pembeli. Dalam hal ini harga ditentukan melalui proses tawar-menawar di antara kedua belah pihak, sampai tercapai harga keseimbangan (equilibrium) yang disepakati keduanya. Tawar-menawar di antara penjual dan pembeli merupakan ciri relasi yang khas dalam usaha perdagangan para pedagang kaki lima.

Harga barang dagangan yang berlaku saat ini masih dianggap layak. Kelayakan harga jual barang dagangan ini menjadi faktor penting bagi pedagang kaki lima untuk tetap bertahan dalam pekerjaan tersebut. Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan harga yang diberikan kepada pembeli terlalu tinggi, sehingga terkesan menipu pembeli.

Sikap pedagang kaki lima terhadap pembeli cukup bervariasi. Sebagian pedagang kaki berusaha untuk menarik pembeli, namun sebagian lainnya bersikap terserah kepada calon pembeli dalam arti tidak memaksa calon pembeli.

Hasil usaha pada umumnya dikelola sendiri (self-employed), cukup dengan satu orang tenaga kerja, artinya pedagang kaki lima cenderung tidak tergantung pada bantuan pihak lain. Kemandirian pedagang kaki lima ini sebenarnya salah satu ciri sektor informal di perkotaan. Hanya sebagian kecil hasil usaha yang dikelola bersama orang lain. Bukti di lapangan ini menunjukkan pedagang kaki lima menunjukkan sifat-sifat khas "one-man enterprise" dan "family enterprise".

Pada umumnya waktu berjualan pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro antara 6 sampai 12 jam setiap harinya. Mayoritas pedagang kaki lima berjualan selama 12 jam atau setengah hari kerja karena waktu tersebut telah dianggap cukup untuk berusaha di sektor informal ini. Namun tidak tertutup kemungkinan apabila sebagian pedagang kaki lima mempunyai pekerjaan sampingan, meskipun jumlah pedagang kaki lima jenis ini tidak banyak.

Sebagian besar pedagang kaki lima menggunakan modal sendiri sebagai modal usahanya, sehingga dapat dikatakan dalam melakukan usahanya pedagang kaki lima tidak membutuhkan modal yang relatif besar dan tidak perlu meminta bantuan orang/pihak lain. Mayoritas pedagang kaki lima juga menyatakan modal usaha yang digunakan berasal dari tabungan sendiri, berarti pedagang kaki lima mengandalkan kemampuan sendiri dalam memulai usahanya.

Mayoritas jumlah modal usaha awal yang digunakan pedagang kaki lima lebih dari Rp 500.000,00 dan sisanya bervariasi sesuai dengan jenis barang dagangan yang dijual. Pada umumnya pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro menggunakan modal usaha awal yang relatif cukup besar atau di atas Rp 500.000,00.

Sebagian besar pedagang kaki lima menyatakan taksiran nilai barang dagangan dan peralatan (aset usaha yang dimiliki) mencapai lebih dari Rp 500.00,00. Fenomena ini sejalan dengan penjelasan di atas bahwa modal usaha awal pedagang kaki lima relatif cukup besar, sehingga wajarlah apabila taksiran nilai barang dagangan dan peralatan yang dimiliki tinggi.

Sebagian besar pedagang kaki lima mendapatkan pendapatan bersih rata-rata yang cukup tinggi yaitu mencapai lebih dari Rp 300.000,00, sehingga dapat dimengerti apabila sebagian besar pedagang kaki lima cukup kerasan bekerja di sektor informal ini . Ada berbagai macam kebutuhan yang dapat dipenuhi dari penggunaan pendapatan bersih rata-rata per bulan antara lain kebutuhan untuk konsumsi harian, menambah modal usaha, biaya produksi, menabung, biaya pendidikan, dan membayar hutang. Mayoritas pedagang kaki lima menggunakan pendapatan bersih rata-rata per bulan untuk memenuhi 3 macam kebutuhan dari beberapa kebutuhan hidup pedagang kaki lima.

Sebagian besar pedagang kaki lima tidak mengalami hambatan dalam pengelolaan modal usahanya, sebagian lainnya mempunyai berbagai hambatan pengelolaan, seperti modal tidak mencukupi, kurang menguasai pengelolaan modal, dan sulitnya mencari pinjaman. Ketidakmampuan pedagang kaki lima dalam pengelolaan modal menyebabkan kurangnya kepercayaan pihak lain seperti tercermin dalam kesulitan mencari pinjaman modal usaha.
Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Manajemen Usaha dan Pengelolaan Modal

Temuan menarik di lapangan menunjukkan pedagang kaki lima tidak terlalu mempermasalahkan kondisi krisis ekonomi. Terbukti dalam tabel 2 berikut ini tampak pedagang kaki lima tetap bekerja dengan waktu berjualan yang tidak berubah (88,0%), sedangkan pendapatan bersih rata-rata per bulan yang diperoleh juga tidak mengalami perubahan (66,5%). Tidak berubahnya pendapatan bersih rata-rata per bulan dapat terjadi karena pengaruh inflasi yang menandai adanya krisis ekonomi yaitu peningkatan penjualan yang diimbangi peningkatan biaya yang dikeluarkan pedagang kaki lima untuk menghasilkan barang dagangan.


Tabel 2
Perubahan Waktu Berjualan Pendapatan Bersih
Tidak berubah 176 (88,0%) 133 (66,5%)
Lebih sedikit 21 (10,5%) 58 (29,0%)
Lebih banyak 3 (1,5%) 9 (4,5%)
TOTAL 200 (100%) 200 (100%)

Perubahan Taksiran Nilai Barang Dagangan
Tidak berubah 161 (80,5%)
Lebih murah 5 (2,5%)
Lebih mahal 34 (17,0%)
TOTAL 200 (100%)
Sumber : Data Diolah (1999)

Sementara itu taksiran nilai barang dagangan dan peralatan juga tidak mengalami perubahan (80,5%). Hal tersebut dapat terjadi karena pengaruh inflasi atau kenaikan harga bahan dagangan dan peralatan memberikan dampak kenaikan taksiran nilai barang dagangan dan peralatan. Tidak berubahnya taksiran barang dagangan dan peralatan yang dimiliki merupakan efek psikologis dari inflasi yang menandai adanya krisis ekonomi tersebut.

Beberapa macam kebutuhan yang dapat dipenuhi pedagang kaki lima dari penggunaan pendapatan bersih rata-rata per bulan antara lain konsumsi harian, modal usaha, biaya produksi, tabungan, biaya pendidikan, dan pembayaran hutang. Untuk pemenuhan kebutuhan tersebut mayoritas pedagang kaki lima menyatakan tidak mengalami perubahan. Namun demikian pada tabel 3 terlihat ada 28 orang atau 14% responden yang menyatakan tabungan yang dimiliki lebih sedikit dibandingkan masa sebelum terjadi krisis ekonomi.



Tabel 3
Perubahan Kebutuhan Dari Penggunaan
Pendapatan Bersih Rata-Rata Per Bulan

PERUBAHAN KONSUMSI HARIAN MODAL USAHA BIAYA PRODUKSI
Tidak berubah 157 (78,5%) 178 (89,0%) 198 (99,0%)
Lebih sedikit 6 (3,0%) 6 (3,0%) 1 (0,5%)
Lebih banyak 37 (18,5%) 16 (8,0%) 1 (0,5%)
TOTAL 200 (100%) 200 (100%) 200 (100%) 200 (100%) 200 (100%) 200 (100%)

PERUBAHAN TABUNGAN BIAYA PENDIDIKAN PEMBAYAR HUTANG
Tidak berubah 167 (83,5%) 179 (89,5%) 182 (91,0%)
Lebih sedikit 28 (14,0%) 3 (1,5%) 12 (6,0%)
Lebih banyak 5 (2,5%) 18 (9,0%) 6 (3,0%)
TOTAL 200 (100%) 200 (100%) 200 (100%)Sumber : Data Diolah (1999)

Bukti-bukti di atas menggambarkan pekerjaan sebagai pedagang kaki lima merupakan salah satu pekerjaan yang relatif tidak terpengaruh krisis ekonomi karena dampak krisis ekonomi tidak secara nyata dirasakan oleh pedagang kaki lima. Dalam hal ini pedagang kaki lima mampu bertahan hidup dalam berbagai kondisi, sekalipun kondisi krisis ekonomi.

Dalam kondisi krisis ekonomi mayoritas produksi yang dihasilkan oleh pedagang kaki lima mengalami penurunan. Hal tersebut terjadi sebagai konsekuensi logis dari inflasi yang menyebabkan harga bahan baku barang dagangan meningkat, seiring dengan penurunan permintaan dari pembeli. Sebagai akibatnya pedagang kaki lima dengan kesadarannya sendiri berusaha mengurangi jumlah produksi barang dagangannya agar tidak terjadi kelebihan stok dan barang dagangan dapat terjual semua. Secara umum produksi yang tidak mengalami perubahan terjadi pada pedagang kaki lima yang menjual pakaian dan barang kelontong, serta majalah dan lainnya. Produksi yang mengalami peningkatan adalah pedagang mainan, makanan dan kelontong, sebaliknya produksi yang mengalami penurunan adalah pedagang makanan/minuman dan barang kelontong.

Hasil pengujian statistik chi-square menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara keberadaan pedagang kaki lima dalam krisis ekonomi menurut jumlah tanggungan kepala keluarga, status pekerjaan, alasan menjadi pedagang kaki lima, sikap pedagang kaki lima, dan pengelolaan hasil usaha.

Sebagian besar responden memilih pekerjaan pedagang kaki lima sebagai pekerjaan pokok bukan disebabkan krisis ekonomi, karena responden telah menjalani pekerjaan pedagang kaki lima dalam waktu yang cukup lama dan telah begitu mencintai pekerjaan tersebut. Pekerjaan sebagai pedagang kaki lima benar-benar menjadi pilihan dari pedagang kaki lima itu sendiri, bukan karena paksaan situasi dan kondisi yang melingkupinya.

Alasan sebagian besar pedagang kaki lima menjalankan usaha di Kawasan Malioboro karena tidak ada pekerjaan yang sesuai, usaha turun-temurun dari keluarga, serta adanya kemauan sendiri jauh sebelum krisis ekonomi terjadi. Sementara sebagian kecil pedagang kaki lima yang diajak orang lain menyatakan pekerjaan tersebut diambil karena tuntutan keadaan di masa krisis ekonomi. Fenomena ini secara tidak langsung menunjukkan pengaruh lingkungan eksternal di luar diri seseorang, terutama kondisi krisis ekonomi mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam penentuan jenis pekerjaan yang dimasuki. Hasil pengujian statistik chi-square juga menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara keberadaan pedagang kaki lima dalam krisis ekonomi menurut alasan bekerja sebagai pedagang kaki lima.

Sikap pedagang kaki lima yang biasa menyerahkan keputusan harga kepada calon pembeli dan di saat lain berusaha menarik pembeli telah menjadi pedagang kaki lima bukan karena krisis ekonomi, artinya pedagang kaki lima telah mampu mensikapi calon pembeli sesuai situasi dan kondisi yang dihadapi. Sementara itu sebagian kecil pedagang kaki lima yang berusaha menarik pembeli menyatakan sikap itu diambil agar dapat meningkatkan omzet penjualannya di masa krisis ekonomi ini.

Pengelolaan usaha pedagang kaki lima yang dibantu orang lain, dikelola sendiri, dan bersama orang lain telah menjadi pedagang kaki lima bukan karena krisis ekonomi. Fenomena ini menunjukkan pedagang kaki lima yang diajak orang lain untuk berusaha di bidang ini cenderung mengelola usahanya bersama orang lain juga. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi risiko dalam manajemen usaha dan pengelolaan modal yang mungkin harus ditanggung oleh pedagang kaki lima.

Berkaitan dengan kepemilikan tabungan baik tabungan uang, tabungan bukan uang, maupun tabungan di bank oleh pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro menunjukkan adanya krisis ekonomi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan persentase pedagang kaki lima yang mempunyai tabungan uang, tabungan bukan uang, dan tabungan bank'. Tabel 4 berikut ini menunjukkan 89,9% pedagang kaki lima yang sebelum krisis ekonomi mempunyai tabungan uang, setelah terjadi krisis ekonomi tetap mempunyai tabungan uang, sedangkan 16,3% pedagang kaki lima yang sebelum krisis ekonomi tidak mempunyai tabungan uang, setelah terjadi krisis ekonomi dapat mempunyai tabungan uang, dan sisanya (83,7%) tetap tidak mempunyai tabungan uang. Hal ini juga berlaku untuk kepemilikan tabungan bukan uang maupun tabungan bank.


Tabel 4
Kepemilikan Tabungan Uang, Tabungan Bukan Uang, Tabungan Bank

TABUNGAN SEKARANG UANG BUKAN UANG BANK

TABUNGAN DULU Punya/Tidak Punya/Tidak Punya/Tidak
PUNYA 141(89,8%)/16(10,2%) 44(86,3%)/7(13,7%)129(94,2%)/8(5,8%)
TIDAK 7(16,3%)/36(83,7%) 4(2,7%)/145(97,3%) 3(4,8%)/60(95,2%)
TOTAL 148 (74%)/52(26%) 48 (24%)/152(76%) 132(66%)/68(34%)
Sumber : Data Diolah (1999)

Pengolahan data menggunakan uji t untuk dua sampel berpasangan (paired) dihasilkan nilai probabilitas tabungan uang sebesar 0,060, tabungan bukan uang sebesar 0,367, dan tabungan bank sebesar 0,132, yang menandakan nilai probabilitas > 0,05, sehingga rata-rata tabungan uang, tabungan bukan uang, dan tabungan bank milik pedagang kaki lima sebelum krisis ekonomi dan sekarang tidak berbeda secara signifikan.

Upaya Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima
Pemerintah Daerah Kotamadya Yogyakarta menyerahkan sepenuhnya pengelolaan Malioboro kepada pedagang kaki lima dan masyarakat karena posisi pemerintah di masa mendatang harus berpihak kepada masyarakat ("Pengelolaan Malioboro Diserahkan ke PKL", Harian Bernas, 4 November 1999, hal.3). Hal tersebut menunjukkan pelaksanaan usahanya pedagang kaki lima menggunakan konsep 'dari PKL, oleh PKL, dan untuk PKL' yang tampak dalam pembentukan organisasi pedagang kaki lima yang bersifat bottom up untuk mengorganisir pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro.

Keberadaan organisasi pedagang kaki lima sangat diperlukan di Kawasan Malioboro mengingat luasnya areal usaha dan banyaknya pedagang yang mencari penghidupan di kawasan tersebut. Selain itu organisasi diperlukan untuk ikut menciptakan ketertiban dan keamanan di Kawasan Malioboro yang telah begitu dikenal sampai ke mancanegara, sehingga citra positif tentang Kawasan Malioboro harus selalu dipertahankan.

Perkembangan pesat usaha pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro dapat meningkatkan kemakmuran pedagang kaki lima itu sendiri, namun dapat juga menimbulkan efek samping yang sering merusak citra Kawasan Malioboro. Harian Bernas (26 Januari 2000, hal. 3) mencatat munculnya pedagang kaki lima yang memenuhi Malioboro dengan meletakkan gerobak dagangan di jalan sampai mengganggu kelancaran lalu lintas, juga banyaknya wisatawan yang mengeluh saat makan di lesehan karena dikenai harga tinggi. Perilaku pedagang kaki lima liar yang tidak menjadi anggota satu organisasi pun di Kawasan Malioboro dan tidak mempunyai kapling tempat, mau tidak mau berimbas kepada anggota-anggota organisasi pedagang kaki lima dan dapat merugikan usaha pedagang kaki lima yang resmi menjadi penghuni kawasan tersebut.

Berikut ini sekelumit peristiwa yang dikutip dari Surat Pembaca Harian Kedaulatan Rakyat (30 Desember 1999, hal. 4) tentang perilaku yang tidak semestinya terjadi di Kawasan Malioboro ini.
....Kami bertiga (mahasiswa tugas belajar dari luar kota) suatu siang sebelum bulan puasa jajan es campur di pedagang kaki lima (PKL) di Malioboro. Setelah selesai saya kaget dengan harga yang harus saya bayar, yaitu Rp 21.000,00 untuk 3 mangkok kecil es campur. Pada saat yang bersamaan seorang bapak bersitegang dengan penjual tersebut, setelah saya tanya ia harus membayar Rp 10.000,00 untuk semangkuk bakso. Setelah kejadian itu saya bercerita pada teman-teman di kampus. Ternyata hal yang sama dialami 2 orang teman dari NTT. Dia harus membayar Rp 80.000,00 untuk 2 piring nasi gudeg + 2 gelas teh panas di warung lesehan di Malioboro !!!! Suatu harga yang fantastis ....

Citra positif Kawasan Malioboro harus dipertahankan sebagai salah satu ciri kota Yogyakarta. Oleh karena itu diperlukan kesamaan gerak dan langkah pedagang kaki lima melalui keberadaan organisasi-organisasi pedagang kaki lima. Pemberdayaan melalui organisasi pedagang kaki lima perlu diupayakan.

Temuan menarik di lapangan menunjukkan perhatian organisasi pedagang kaki lima kepada anggota cukup besar, namun demikian perhatian yang diberikan belum optimal karena masih sebatas mengorganisir dan mengatur keberadaan pedagang kaki lima dan dalam kondisi krisis ekonomi ini organisasi kurang mampu melakukan pemberdayaan (empowerment) pedagang kaki lima. Berbagai kinerja yang dihasilkan pedagang kaki lima pada saat krisis ekonomi menunjukkan tidak ada kaitan yang jelas antara upaya organisasi pedagang kaki lima dengan perubahan kinerja usaha. Bagaimanapun organisasi pedagang kaki lima belum mampu membantu pedagang kaki lima dalam mengatasi krisis ekonomi yang terjadi dan keadaan ini sebenarnya menjadi tantangan yang masih harus diperhatikan oleh pihak-pihak terkait.

Secara umum pedagang kaki lima tidak begitu mempermasalahkan ada atau tidak ada upaya pemberdayaan pedagang kaki lima dalam menghadapi krisis ekonomi, seperti dinyatakan oleh 76,9% anggota Koperasi Tridharma dan 83,6% anggota Pemalni. Hal itu terjadi karena mayoritas pendidikan pedagang kaki lima cukup tinggi (sekurang-kurangnya lulusan SLTP ke atas), sehingga pedagang kaki lima tidak terlalu mengambil pusing apakah organisasi membantu anggotanya untuk mengatasi krisis ekonomi atau tidak.

Penutup
Penelitian ini membuktikan dampak krisis ekonomi terhadap manajemen usaha dan pengelolaan modal tidak berpengaruh secara nyata terhadap usaha pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro, sebagaimana terbukti tidak ada perubahan terhadap waktu berjualan (88%), taksiran nilai barang dagangan dan peralatan (80,5%), pendapatan bersih rata-rata per bulan (66,5%), bahkan tidak ada perubahan pemenuhan kebutuhan dari pendapatan bersih rata-rata per bulan. Fenomena ini menunjukkan pedagang kaki lima mampu bertahan hidup dalam kondisi krisis ekonomi sekalipun. Adanya krisis ekonomi juga tidak memberikan pengaruh nyata pada peningkatan kemampuan menabung pedagang kaki lima, baik berupa tabungan uang, tabungan bukan uang, maupun tabungan bank.

Upaya pemberdayaan pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro pada masa krisis ekonomi kurang mampu dilakukan, sehingga keterlibatan pihak-pihak terkait diperlukan dalam mengantisipasi dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pembinaan manajemen usaha dan pengelolaan modal, seperti strategi penetapan harga barang dagangan, strategi menjual produk, dan kiat-kiat pendanaan usaha. Akses ke lembaga-lembaga keuangan dapat pula diupayakan untuk membantu pedagang kaki lima yang mengalami kesulitan permodalan usaha, atau mencari terobosan-terobosan baru untuk mendapatkan sumber pendanaan untuk mengembangkan usaha, seperti dana Jaringan Pengaman Sosial (JPS). Pada akhirnya diperlukan pendekatan yang lebih manusiawi dalam mengatur keberadaan pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro, mengingat pekerjaan pedagang kaki lima dapat menjadi safety belt karena kemampuannya dalam penyediaan lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja yang tidak tertampung di sektor formal.
Daftar pustaka
------, Pengelolaan Malioboro Diserahkan ke PKL", Harian Bernas, 4 November 1999, hal. 3.

------, Surat Pembaca "Nasi Gudeg Rp 400.000, Bakso Rp 10.000", Harian Kedaulatan Rakyat, 30 Desember 1999, hal. 4.

------, "PKL pun Keluhkan PKL Malioboro", Harian Bernas, 26 Januari 2000, hal. 3.

Handoyo, (1997). Manajemen Modal Kerja, Yogyakarta, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Haryono, Tulus, (1989). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Usaha Pedagang Kaki Lima : Studi Kasus di Kodya Surakarta (tesis yang tidak dipublikasikan, Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada).

Hidayat, (1978). "Peranan Sektor Informal dalam Perekonomian Indonesia", Ekonomi Keuangan Indonesia, Vol. XXVI, No. 4, Desember 1978, hal. 415-443.

Purwanugraha, Heribertus Andre dan Th. Agung M. Harsiwi, 2000, Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keberadaan Pedagang Kaki Lima di Kawasan Malioboro : Studi Pada Aspek Manajemen dan Pengelolaan Modal, Laporan Penelitian, Fakultas Ekonomi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Soemadi, M. Djelni, (1993). "Usaha Kaki Lima Tetap Merupakan 'Gantungan Hidup' bagi Mereka", Kedaulatan Rakyat, 14 Mei 1993.

Stonner, (1996) Manajemen (terjemahan), Jakarta, PT Prenhallindo.

sumber: http://re-searchengines.com/amharsiwi.html
Read more...

Kursus khas guru Bahasa Arab

Bulan lalu satu memorandum persefahaman (MoU) antara Kementerian Pelajaran Malaysia (KPM) dan Kementerian Pelajaran Oman telah berlangsung dengan jayanya di negara teluk tersebut.

Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Menteri Pelajaran, Datuk Hishamuddin Hussein dan rakan sejawatannya dari Oman. Ia disaksikan beberapa orang pegawai tinggi kementerian berkenaan daripada kedua-dua negara.

Antara MoU tersebut adalah perjanjian usahasama antara kedua negara dalam meninggikan mutu pendidikan di negara masing-masing. Negara yang mempunyai kepakaran dalam bidang tertentu akan membantu negara lain yang tidak memiliki kepakaran tersebut.

Dalam hal ini, Malaysia yang mempunyai kepakaran dalam pengurusan dan pentadbiran dalam bidang pendidikan akan membantu Oman semaksimum mungkin. Bagi Oman pula, mereka akan membantu Malaysia dalam meningkatkan mutu penguasaan Bahasa Arab di kalangan guru dan pelajar Malaysia.

Perjanjian antara kedua-dua pihak ini dijangka memberikan pulangan yang berlipat kali ganda kepada kedua-dua pihak. Memang tidak dinafikan juga, perjanjian serupa ini memang ditunggu-tunggu oleh warga pendidik terutamanya guru dan pelajar yang mengikuti kelas Bahasa Arab.

Sebagai pegawai perkhidmatan pendidikan yang tersenarai dalam Directory of Expert KPM dalam bidang Bahasa Arab sejak 2007, penulis teruja menyatakan pandangan. Ia boleh dianggap sebagai pendapat dalam meningkatkan lagi mutu Bahasa Arab di kalangan guru sekolah dan para pensyarah di Institut Pendidikan Guru (IPG).

Secara umumnya, tahap penguasaan Bahasa Arab di kalangan guru dan pensyarah IPG berada di tahap yang baik. Walau bagaimanapun, masih banyak yang perlu ditingkatkan jika kita ingin melihat kualiti guru dan pensyarah Bahasa Arab mencapai tahap yang dibanggakan seperti yang diuar-uarkan bertaraf dunia.

Antara kepakaran Bahasa Arab yang ditagih daripada Oman ialah kepakaran dalam ilmu-ilmu berkaitan Bahasa Arab dan ilmu pedagogi yang paling sesuai digunakan dalam membantu para pelajar Malaysia belajar dan menguasai bahasa tersebut.

Antara cadangan yang dikemukakan ialah menghantar guru-guru Bahasa Arab mengikuti kursus jangka pendek selama sebulan, tiga bulan, enam bulan, sembilan bulan dan setahun di sana. Guru yang memerlukan kursus tersebut ialah guru j-QAF (jawi-Quran-Arab- Fardu Ain) di sekolah rendah, guru sekolah menengah dan pensyarah IPG.

Dalam hal ini, fokus harus ditumpukan kepada guru-guru j-QAF kerana mereka yang mengajar pelajar tahun 1 hingga tahun 6. Mereka bertanggungjawab mengajar asas-asas bahasa al-Quran ini kepada para pelajar yang baru mula belajar.

Walau bagaimanapun, sebelum menghantar guru-guru j-QAF ke sana, ada baiknya para pensyarah Bahasa Arab di IPG dihantar terlebih dahulu. Ini kerana mereka adalah yang bertanggungjawab mengajar guru-guru j-QAF. Setakat ini, sebaik sahaja guru-guru j-QAF mendaftar di IPG pada Januari mereka dihantar ke sekolah-sekolah rendah di seluruh negara pada minggu ketiga. Mereka akan mengikuti kelas di IPG pada musim cuti semester. Tempoh pengajian mereka adalah selama setahun setengah.

Dengan kata lain, warga pendidik sangat mengalu-alukan penghantaran tenaga pengajar Bahasa Arab ke sana. Kaedah pemilihan penghantaran mungkin boleh diperhalusi dengan mengambil kira pelbagai aspek sama ada soal kewangan dan mutu hasilnya nanti berbaloi dengan kos yang dikeluarkan.

Pelbagai cara mungkin boleh dilaksanakan. Antaranya, menghantar para pensyarah IPG dahulu dan diikuti oleh guru j-QAF di sekolah rendah dan guru di sekolah menengah. Cara yang lain pula ialah menghantar wakil ketiga-tiga tenaga pengajar tersebut secara berperingkat-peringkat.

Contohnya kumpulan pertama terdiri daripada 27 pensyarah IPG (setiap IPG seorang wakil), 14 guru j-QAF dan 14 guru sekolah menengah (setiap negeri seorang wakil).

Kumpulan kedua dan seterusnya akan menyusul kemudian. Ini bererti, setiap pensyarah dan guru yang layak berpeluang mengikuti kursus tersebut mengikut giliran masing-masing. Kaedah ini sebenarnya telah lama dipraktikkan oleh pihak kementerian sendiri dalam penghantaran guru-guru Bahasa Perancis ke negara Eropah tersebut mengikut giliran. Oleh itu, kaedah sama mungkin boleh dipraktikkan untuk program Bahasa Arab.

Impka
Berdasarkan pengalaman penulis, kursus pendek anjuran negara Arab biasanya memberi impak yang besar terhadap mutu pengajaran dan pembelajaran bahasa Arab. Sebagai contoh, penulis pernah mengikuti kursus guru pakar Bahasa Arab anjuran bersama ISESCO, United Nation dan KPM pada 1 hingga 25 Julai 1992. Ketika itu penulis baru berkhidmat dua bulan di SMK Agama Inanam, Kota Kinabalu, Sabah.

Walaupun kursus itu hanya 25 hari tetapi kesannya cukup mendalam bagi penulis. Kursus tersebut dikendalikan oleh tiga orang pakar pendidikan Bahasa Arab dalam bidang masing-masing.

Mereka berpengalaman luas mengajar bukan Arab di pelbagai negara sama ada di Afrika, Eropah mahupun di Asia. Dalam kursus tersebut, peserta didedahkan kepada pelbagai teknik mudah untuk belajar dan mengajar bahasa tersebut.

Berkat tunjuk ajar daripada para pengendali kursus yang bertaraf profesor itu, kini penulis yakin bahawa Bahasa Arab tidaklah sesukar seperti yang digembar-gemburkan. Bahasa Arab bukan sahaja senang, malah ia adalah bahasa paling senang dipelajari dan paling mudah diajarkan.

Untuk itu, seseorang yang ingin belajar dengan mudah perlu mengikuti kursus teknik mudah belajar. Bagi guru yang ingin mengajar dengan berkesan perlu menyertai kursus teknik mudah mengajar berkesan.

Dalam hal ini, jika pihak kementerian sanggup memberi peruntukan menghantar para guru ke sana, maka para guru yang dihantar juga perlu menunjukkan komitmen yang tinggi dan dapat membalasnya dengan hasil inovasi sesuai dengan kos yang dibelanjakan.

Dengan kata lain, guru yang yang dihantar ke luar negara bukanlah yang terbaik tetapi bernasib baik. Mereka dihantar ke sana dengan menggunakan wang rakyat daripada pelbagai lapisan masyarakat. Sehubungan itu, ilmu dan pengalaman mereka perlu dikongsi bersama dengan rakyat yang tidak berpeluang ke sana.

Cara yang paling berkesan ialah mereka perlu mengadakan kursus kepada rakan-rakan mereka sejurus pulang dari luar negara.

Sebagai contoh yang boleh dijadikan tauladan ialah langkah pihak Bahagian Pendidikan Guru (BPG) yang menetapkan agar mana-mana pegawai yang ke luar negara menggunakan peruntukan kerajaan dikehendaki mengadakan kursus khas kepada mereka yang berkenaan secepat mungkin.

Ini termasuklah mesyuarat, seminar, lawatan, membentang kertas kerja dan lain-lain lagi. Dalam konteks ini, penulis juga tidak terkecuali. Setelah diberi peluang menyertai dan membentang kertas kerja berkaitan Kurikulum Bahasa Arab di seminar antarabangsa di luar negara, penulis perlu berkongsi pengalaman dengan mengendalikan kursus khas kepada yang terlibat.

Sehubungan itu, insya-Allah satu kursus teknik mudah belajar dan mengajar Bahasa Arab akan diadakan pada 11 hingga 14 Ogos ini di sebuah hotel di Melaka. Para peserta terdiri daripada guru-guru sekolah dan para pensyarah IPG dari seluruh negara.

Di pos oleh Arbain Muhayat pada 02 January 2009
Read more...

Perubahan Kurikulum Dapat Menentukan Nasib Baik Hasil Pendidikan

Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan.
Nama & E-mail (Penulis): TAUFIK
Saya Pengamat di MAKASSAR
Tanggal: 30 OKTOBER 2002
Judul Artikel: Perubahan Kurikulum Dapat Menentukan Nasib Baik Hasil Pendidikan
Topik: KURIKULUM SEBAGAI ACUAN DASAR PENDIDIKAN NASIONAL

Artikel:

Sampai sekarang pendidikan kita masih compang-camping karena sering terjadi perubahan kurikulum. Setiap pergantian menteri maka pasti terjadi perubahan yang buntutnya malah membuat bingung pelaku pendidikan. Padahal kurikulum seharusnya tidak boleh berubah, ibaratnya pejabat berikutnya tinggal melanjutkan apa yang telah ditinggalkan oleh pendahulunya, tetapi mungkin karena rasa gengsi yang salah kaprah dari beliaunya sehingga agak malu hati jika tidak melakukan perubahan, alias ingin disebut meninggalkan jasa kelak. Sedikit panas dan memerahkan telinga memang ,tapi inilah kenyataan.

Seharusnya sebuah kurikulum dipatenkan selama beberapa lama agar dapat dilihat hasil dari pembelajaran tersebut. Jika kita melihat kenegara lain yang lebih maju, mereka memiliki SDM yang bagus, itu karena siswa mereka tidak dibuat bingung oleh perubahan yang begitu cepat. Kurikulum yang lama belum terserap langsung sudah terganti. Hal lain adalah banyaknya pemborosan biaya pendidikan termasuk untuk mencetak buku-buku yang pada akhirnya tidak terpakai,padahal seharusnya dapat digunakan untuk membiayai bidang-bidang lain dalam sektor pendidikan misalnya kesejahteraan guru, sehingga tidak akan terdengar lagi nada miris tentang nasib guru yang nyambi kerja jadi tukang ojek untuk mempertahankan asap dapur agar tetap ngepul.

Guru yang konsentrasi bekerja, tentunya akan dapat menghasilkan mutu yang bagus disamping tentunya tetap didukung oleh kurikulum yang tetap. Sebab bisa saja terjadi guru yang berada jauh dipedalaman tidak mengetahui lagi adanya perubahan sehingga otomatis tertinggal jauh akibatnya mutu pendidikan jadi timpang. Mungkin saatnya para orang pintar di Indonesia memikirkan mulai sekarang untuk menentukan takaran baku kurikulum ini sehingga kita bisa terangkat dan bukan menjadi pecundang terus. Ingat, kita masih berada di bawah negara Vietnam. Negara yang baru pulih dari luka perang, sedangkan kita katanya sudah lama merdeka tapi masih asyik cuma mengutak atik yang sudah lama seperti anak yang menderita autis, asyik dengan dirinya sendiri tanpa menghiraukan orang lain yang penting asyik sendiri dan bisa meninggalkan sesuatu....kelak.

Saya TAUFIK setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

Sumber:Artikel-Artikel Pendidikan Indonesia
Read more...

INTELEKTUALITAS DAN HATI NURANI

Judul: INTELEKTUALITAS DAN HATI NURANI
Bahan ini cocok untuk bagian FILSAFAT / PHILOSOPHY.
Nama & E-mail (Penulis): Rifka Nida
Saya Konsultan di Jakarta
Topik: humaniora
Tanggal: 19 Februari 2006

Kreativitas adalah bagian dari hidup. Proses kreativitas dimulai ketika seorang anak mulai mengeksplorasi diri dan lingkungannya sehingga nantinya ia akan menghasilkan suatu karya, apapun bentuknya. Apa yang terjadi ketika proses kreativitas itu terhambat atau bahkan dihambat? Tubuh akan terasa mati.

Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah bahwa ia memiliki akal dan hati nurani. Akal berguna dalam proses intelektualitas-yang salah satu bentuknya adalah kreativitas-sedangkan hati nurani yang akan memberi nilai positif atau negatif pada hasil intelektualitas tersebut. Ketika proses kreativitas individu terhambat dan dihambat, maka fungsi intelektualitasnya pun terhambat, itulah alasan mengapa saya mengatakan 'tubuh akan terasa mati jika intelektualitas kita dihentikan.' Akan tetapi tidak selamanya penghentian proses intelektualitas itu berdampak negatif. Di sinilah peran hati nurani dalam melengkapi keutuhan individu sebagai manusia.

Banyak prestasi di muka bumi yang sepertinya lepas dari hati nurani. Sangat disayangkan memang. Akan tetapi, realitas yang terjadi seringkali harus berbenturan dengan hati nurani. Ketika suatu seni-yang merupakan buah proses intelektualitas-begitu diagungkan, maka sisi nurani akan tersingkir tanpa disadari.

Fenomena penafian hati nurani sendiri tidak hanya terjadi dalam seni (seperti yang telah disinggung pada paragraf sebelumnya), tetapi juga pada banyak perspektif kehidupan insani. Sebut saja politik, bisnis, kehidupan bermasyarakat, bahkan pada dunia akademisi yang notabene merupakan salah satu jalur penyambung tali hati nurani yang tampaknya hampir putus dari ikatan kehidupan dewasa ini.

Bukan tidak mungkin intelektualitas dan hati nurani berjalan beriringan. Justru dengan cara demikianlah peradaban manusia sebagai makhluk yang paling mulia tetap pada jalurnya yang beradab. Sama halnya dengan intelektualitas, sensitivitas hati nurani pun hendaknya dimulai sejak usia sangat dini. Menggunakan perspektif ini, maka seseorang baru dapat dikatakan individu seutuhnya hanya jika ia memiliki keduanya, intelektualitas dan hati nurani.

Saya Rifka Nida setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright). .

Sumber:Artikel-Artikel Pendidikan Indonesia
Read more...

Visi Keberagamaan, Sekarang dan Masa Depan

Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum.
Nama & E-mail (Penulis): Nurdin Somantri
Saya Guru di Yogyakarta
Tanggal: 15 April 2002
Judul Artikel: Visi Keberagamaan, Sekarang dan Masa Depan
Topik: Agama

Artikel:

VISI KEBERAGAMAN, SEKARANG DAN MASA DEPAN
(Oleh: Nurdin Somantri*)

Fakta Sejarah : Bangsa Indonesia ramah ?
Saya awali naskah renungan ini dengan pertanyaan, ramahkah kita ini ? Pertanyaan itu muncul ketika saya berfikir dan merasakan kehidupan bangsa kita akhir-akhir ini. Penuh gejolak kerusuhan antara agama dan etnis yang terlepas dari apakah itu berupa akibat konstelasi kehidupan perpolitikan bangsa kita, ataukah karena pengaruh eksternal yang lebih luas: krisis identitas diri karena dampak globalisasi, informasi mondial, atau cultural shock. Saya sangat terkejut ketika membaca kefrustasian seorang sosiolog bahwa kita ini bangsa inlander, bangsa yang dendam akibat penjajahan.

Melihat Sejarah khususnya sejarah Jawa, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam nuansa kehidupan kekuasaan Jawa, masyarakat Jawa tak pernah lepas dari hiruk-pikuk pertikaian kekuasaan antara satu dinasti ke dinasti lain, lepas dari apakah itu memang strategi Belanda atau memang orang Jawa secara inheren senang akan pertikaian demi mempertahankan status quo. Yang jelas sejarah mencatat sekian ribu barel darah telah tumpah untuk sampai bangsa kita ke keadaan sekarang ini.

Apakah kekerasan sekarang ini identik dengan apa yang telah terjadi dulu ? Perlu kajian mendalam atas masalah itu. Yang jelas sekarang ini hampir tiap hari kita dininabobokan oleh program-program TV menarik yang penuh dengan violent actions, dan itu sudah masuk menjadi bagian activitas sehari-hari dari generasi muda yang kita punyai sekarang. Mereka bukan lagi generasi si Unyil, tetapi generasi mighty power ranger. Dalam film si Unyil kita masih diajarkan moralitas, baik buruk dan konsekuensi-konsekuensi, tetapi dalam yang terakhir nuansa itu hampir tak ada.

Ajaran Agama : Diajarkankah kekerasan ?
Sejarah Islam mencatat bahwa Muhammad SAW memilih perang jika dan hanya jika penyelesaian damai memang sudah tidak mungkin lagi. Ini simbul bahwa kekerasan adalah jalan terakhir. Disitulah nampak keanggunan Islam sebagai ajaran yang universal. Islam melihat agama lain sebagai imbangan moralitas manusia, maksudnya jika anda muslim, entah karena keturunan atau karena keinginan kita untuk menjadi muslim, anda dibawa oleh nabi untuk melihat bahwa penganut agama lain adalah kakak-adik kita.

Bagaimanapun Islam tidak lupa akan sejarah. Ia agama yang melengkapi agama yang sudah ada. Tetapi ketika dihadapkan pada peran misinya sebagai agama dunia ia tidak lupa untuk terus berpijak pada sejarah keramahannya. Masih ingatkah kita ketika nabi mengajak pamannya yang dicintainya (Abu Thalib) agar segera masuk Islam sampai-sampai ketika pamannya itu hampir wafat? Nabi ditegur Tuhan karena terperosok dalam kesedihan karena keteguhan pamannya itu. Ini bisa berarti, bahwa dimasa depan, yang begitulah fenomena manusia, ada yang bisa terbuka akan Islam, ada yang tidak. Kepada yang bisa, binalah keislamannya, bagi yang tidak, jangan pernah engkau memaksanya. Jangan pernah kita terjebak pada nominalitas agama, tetapi harusnya kita berpijak pada keuniversalitasan Islam itu sendiri. Jika memang kekerasan hanya diajarkan sebagai jalan terakhir, maka mengapa kekerasan sekarang menjadi bagian hidup kita? Sakitkah bangsa kita?

Ini kajian psikologis. Mari kita cek dari segi agama. Adakah pola yang salah dalam pengajaran dan penyebaran agama selama ini? Kita masih melihat ada orang yang begitu marah melihat ada acara agama lain di TV, pada saat yang sama ia lupa bahwa TV itu sendiri bukan orang Islam yang mengembangkannya tetapi bangsa penganut agama lain. Saya masih sering mendengar ada khotib yang mencerca agama lain, di sisi lain ia lupa bahwa apa yang ia pakai, gaya hidup yang ia terapkan sehari-hari adalah gaya hidup yang diakomodir dari penganut agama lain. Jadinya serba ironis, kesadaran historis begitu rendahnya, sampai-sampai mempermalukan dirinya sendiri. Apa yang terjadi dalam penyebaran agama? Mungkinkah kita terlalu berat sebelah pada normatifitas agama tersebut tanpa memperhatikan historisitasnya?

Bagi ummat Islam, kita ingin hukum Islam ditegakkan, tetapi berpijaklah pada realitas bahwa Islam disebarkan di negeri ini berbeda dengan yang dikembangkan di timur tengah sana. Untuk mengerti perlu waktu dan proses. Cepat atau lambat, proses Islamisasi perlu waktu. Ada proses yang harus dilalui, dan itu sangat tergantung pada waktu dan kondisi. Proses tersebut belum selesai. Hanya dengan strategi yang penuh kasih sayang, seperti halnya Islam itu sendiri yang rahmatan lil ‘alamiin, Islamisasi itu akan berjalan damai dan mewujud pada peradaban yang akan terbentuk nantinya. Sebuah masyarakat madani, dimana kita hidup dengan suka cita, bersisian dengan umat yang diijinkan Tuhan untuk menghirup udara dunia ini.
Solusi: Beberapa Konsep

1. Harus ada strategi baru dalam penyebaran agama (Islam) yang lebih berpijak secara imbang antara normatifitas dan historisitas.

2. Perlu visi yang jauh dan dinamis dalam hubungannya kita berrelasi dengan penganut agama lain. Penganut agama lain bukanlah musuh, tetapi seperti yang dikatakan Safii Maarif, adalah kakak-adik kita. Mereka adalah teman dalam menegakkan moral. Islam itu sendiri hakekatnya adalah moral. Aku diutus ke muka bumi hanyalah untuk menyempurnakan akhlaq, demikian sabda nabi. Sebagai sesama penegak moral, maka musuh bersamanya adalah immoralitas, bukan perbedaan nominalitas agama.

3. Sikap infantil dalam beragama hanya akan melecehkan agama itu sendiri. Perlu kematangan, pemikiran yang mendalam dalam pengembangan ajaran agama. One way approach sudah tidak bisa lagi dilakukan dalam abad milenium ini, satu-satunya pilihan lihatlah agama (Islam) dari berbagai sisi: multi dimentional approach.

*Penulis lepas, guru SMU N 8 Yogyakarta
Rumah: Jl. Prawirotaman no. 11 Yogyakarta
email: endeeste@yahoo.com
Read more...

Apakah tata usaha sekolah itu?

Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan.
Nama & E-mail (Penulis): Muhammad Yasin
Saya Mahasiswa Birmingham University, UK
Tanggal: 14 April 2001
Judul Artikel: Apakah tata usaha sekolah itu?
Topik: Tata Usaha Sekolah

Artikel:

Apakah tata usaha sekolah itu?
Besarkah peranannya dalam sekolah? Dan apa saja sih fungsi dan tugas mereka disekolah? Itulah mungkin pertanyaan-pertanyaan yang mungkin keluar bagi orang yang belum begitu kenal dengan tata usaha (TU) sekolah.

Untuk ini saya khususkan tentang TU Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Sebagai seorang TU, saya ingin mencoba mengangkat ‘dinamika kehidupan’ mencoba tata usaha dari pantauan kesehariannya (karena saya seorang TU) dan dari sudut ilmiahnya (karena saya sekarang Mahasiswa peminat masalah pertatausahaan di UK).

Staff TU yang ada di indonesia tampaknya berbeda dengan staff tu yang ada di UK. Disini untuk urusan administrai mereka dibagi menjadi 4 bagian; school assistant, clerical assistant, finance assistant dan general assistant (sumber: Nansen School, Birm, UK, 2001). Mereka bukan ditunjuk oleh pemerintah (karena sekolah mempunyai wewenang dan autonomy sendiri). Mereka masuk bekerja disekolah didasarkan pada professionalisme mereka. Sebelum bekerja disekolah mereka harus mendapatkan skill dan pengetahuan yang cukup untuk kerja mereka. Oleh karena itu pengalaman dan sertifikat pendidikan (ijazah) sangat menentukan dalam kerja mereka. Dan mereka bekrja pada disiplin ilmu mereka masing-masing.

Hal ini agak berbeda dengan TU yang ada di Indonesia. semua staf TU di sekolah-sekolah di Indonesia tampaknya harus bisa bekerja di semua bidang yang ditugaskan oleh kepala sekolah dan kepala TU. Mereka bertugas dalam berbagai bidang, baik bekerja sama dengan kepala sekolah dan guru atau mereka bekerja sendiri. Tugas mereka meliputi, membantu proses belajar mengajar, urusan kesiswaan, kepegawaian, peralatan sekolah, urusan infrasturcture sekolah, keuangan, bekerja di laboratorium, perpustakaan dan hubungan masyarakat (Sumber: hasil rapat Kepala Tata Usaha di Bogor: 1996). Staff TU tidak bekerja sesuai dengan disiplin ilmu mereka, Kenapa? Karena banyak alasan untuk itu. Yang paling mendasar adalah, mereka hanya sebagian besar- mungkin hampir semuanya- lulusan dari SLTA atau sedikit yang dari Sekolah Kejuruan. Jarang diantara mereka mengikuti pendidikan lanjutan dan disekolahkan oleh pemerintah untuk meng-up grade professionalisme mereka. Pertanyaanya adalah, dengan faktor-faktor pembatas seperti itu apakah kerja-kerja bidang administrasi di sekolah kita dapat berjalan maksimal?

Hal-hal seperti in memang layak menjadi sorotan bagi pemerhati masalah pendidikan dan ketenaga kerjaan. Sebab, selama ini yang disorot adalah guru dan permasalahannya, juga kepala sekolah dan pelajar, tapi untuk TU sekolah apakah kita semua sudah cukup memberikan perhatian atas apa yang telah berhasil mereka kerjakan ataupun apa yang belum mereka lakukan. Sungguh suatu hal yang bijak kalau kita semua mau melihat sisi dalam dari sekolah yang bukan hanya untuk guru dan kepala sekolah, tapi juga TU yang selama ini berjuang ‘dibelakang meja’ untuk kepentingan sekolah.

Itulah sekelumit tentang TU SLTP dan mungkin juga TU sekolah lanjutan lainnya yang bisa saya sampaikan, ini merupakan awal yang saya harap Bapak-Bapak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan mempunyai respon tentang masalah ini.
Sumber:Artikel-Artikel Pendidikan Indonesia
Read more...

Standarisasi Tata Usaha Sekolah, sebuah urgensi

Judul: Standarisasi Tata Usaha Sekolah, sebuah urgensi
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian TATA USAHA / SCHOOL ADMINISTRATION.
Nama & E-mail (Penulis): Giri Cahyono
Saya Staf Administrasi di MAN Serpong
Topik:
Tanggal: 28 Januari 2008

Secara tidak sengaja, penulis diberi kesempatan untuk menjadi tanaga Tata usaha di sebuah Madrasah. Dibilang tidak sengaja, karena semula penulis berkeinginan untuk menjadi guru eksak. Apalagi jumlah guru eksak di madrasah tempat penulis bekerja sangat kurang dari kebutuhan. Namun karena belum mempunyai akta IV, maka "terpaksa" menjadi staf TU Madrasah tersebut. Walaupun begitu, penulis tetap sempat mengajar pada sejumlah mata pelajaran eksak. Hal ini memang sesuai dengan kualifikasi non formal dari penulis yang merupakan pengajar eksak pada sejumlah bimbel di selatan jakarta. Hebatnya (atau bodohnya?) saat penulis ditawai untuk menjadi guru, beberapa tahun kemudian, penulis menolak dengan alasan tertarik untuk mendalami karakteristik Tata Usaha.

Karakteristik fungsi TU Madrasah

Berdasarkan pengamatan penulis dari sejumlah madrasah di kabupaten Tangerang diperoleh gambaran kerja Tu madrasah mirip seperti yang diuraikan oleh Muhammad Yasin. Yaitu

1. Fenomena ketidak jelasan pembagian tugas dan tanggung jawab dari setiap staf TU. Istilah mereka : pekerjaan kolektif. Ada kelebihan dan kekurangan tentu saja. Kelebihannya adalah setiap staf kemungkinan memiliki semua keahlian Tata Usaha Sekolah. Kelemahannya adalah masalah tanggung jawab siapa kalau pekerjaan tidak selesai atau bermasalah. Sayangnya, kerja kolektif dari pegawai Tata Usaha

2. Ketidak jelasan perbedaan pemahaman TUPOKSI antara guru dan Tata Usaha, sebagai awal pemicu banyak kekisruhan konflik guru dan Tata Usaha di sekolah. Sampai saat ini masih ada sekolah/madrasah yang menganggap tugas guru hanya mengajar, sementara selain mengajar adalah tugas Tata Usaha. fenomena tata Usaha sebagai pelayan Guru, juga memperkuat peluang konflik guru - TU. Apalagi dengan masih terbatasnya kemampuan sejumlah guru dalam menggunakan komputer menyebabkan guru "menyerahkan" semua tugas yang sebetulnya masih TUPOKSI nya kepada TU.

3. Perbedaan Jam kerja Guru - Tata Usaha Pada sekolah menengah, terjadi kecemburuan, terutama pada level PNS guru dan PNS TU. Jam kerja guru yang relatif rendah dibanding TU, menjadi pemacu menurunnya motivasi kerja TU. Bayangkan, TU PNS bekerja 6 hari kerja, Guru PNS bisa 3 hari kerja. Maka fenomena TU ngobrol bisa ditemui (walaupun jarang ditemui di sekolah penulis). Hal ini belum termasuk perbincangan mengenai perbedaan jumlah jenis insentif guru yang jauh lebih banyak dibanding jumlah jenis insentif Tata Usaha

JALAN KELUAR PENYELESAIAN

Memperbaiki kualitas ketrampilan kerja Tata Usaha, seperti yang diuraikan oleh Muhammad yasin sangat baik sebagai penyelesaiannya. Namun sebetulnya yang efektif adalah bagaimana pemerintah membuat semacam buku petunjuk besar petunjuk pelaksanaan kerja Tata Usaha. Dalam buku ini mencakup semua bagian pekerjaan dalam Tata Usaha, termasuk contoh persuratan, organisasi. Dengan cara ini maka staf Tata Usaha dapat bekerja sambil belajar. maka solusi ini dapat menjadi solusi yang efektif dan efisien.

Dan tentunya semua itu dapat berjalan dengan baik jika pihak pemimpin sekolah, dalam hal ini kepala Tata Usaha dan Kepala Sekolah mampu bekerja sama dan berfungsi sesuai dengan tanggung jawabnya, termasuk menyelesaikan permasalahan konflik yang mungkin terjadi.

Dan yang terpenting adalah tidak perlu ada saling menyalahkan tugas dan pekerjaan antara Guru dan Tata Usaha, karena seberapa besar kesalahannya harus disikapi dengan arif, mengingat antara Tata Usaha dan Guru adalah sama - sama berjuang untuk memajukan pendidikan sekolah. (Walupun perhatian pemerintah saat ini lebih berfokus kepada Guru)
Read more...

Faktor-Faktor Makro yang Menyebabkan Anak Malas Belajar

Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum.
Nama & E-mail (Penulis): Prof. Sarlito Wirawan Sarwono
Saya Dosen/Guru Besar Fakultas Psikologi UI
Tanggal: 3 Juni 2003
Judul Artikel: Faktor-Faktor Makro yang Menyebabkan Anak Malas Belajar
Artikel-Artikel Prof. Sarlito:Yang Lain
Topik: Mengatasi Malas Belajar Pada anak

Bulan-bulan tertentu menjelang Ebtanas dan UMPTN, setiap tahun, adalah musimnya orangtua mengkonsultasikan anak-anaknya untuk tes bakat pada psikolog. Persoalan orangtua (belum tentu persoalan anak juga) adalah bahwa anaknya, walaupun sudah kelas 3 SMU, belum jelas mau memilih jurusan apa di perguruan tinggi. Karena takut bahwa anaknya gagal di tengah jalan, maka orangtua pun mengkonsultasikan anaknya kepada psikolog.

Sementara itu, dari pengamatan saya di ruang praktek, di pihak anaknya sendiri kurang nampak ada urgensi pada permasalahan yang sedang dihadapinya. Rata-rata anak memang ingin lulus UMPTN di Universitas-universitas favorit (UI, ITB), tetapi tidak terbayangkan betapa ketatnya persaingan yang harus dihadapinya1. Kalau tidak lulus UMPTN, pilihan untuk PTS (Perguruan Tinggi Swasta) masih banyak. Kalau tidak diterima di Trisakti atau Atmajaya, masih banyak PTS yang lain. Bagi yang orangtuanya mampu, kuliah di luar negeri2 bahkan lebih banyak lagi peluangnya.

Tidak adanya perasaan urgensi (kegawatan) lebih nampak lagi pada hampir-hampir tidak adanya persiapan yang serius. Kebanyakan anak tidak mempunyai kebiasaan belajar yang teratur, tidak mempunyai catatan pelajaran yang lengkap, tidak membuat PR, sering membolos (dari sekolah maupun dari les), seringkali lebih mengharapkan bocoran soal ulangan/ujian atau menyontek untuk mendapat nilai yang bagus.

Di sisi lain, cita-cita mereka (yang karena kurang baiknya hubungan anak-orangtua, sering dianggap tidak jelas) adalah sekolah bisnis (MBA). Dalam bayangan mereka, MBA berarti menjadi direktur atau manajer, kerja di kantor yang mentereng, memakai dasi atau blazer dan pergi-pulang kantor mengendarai mobil sendiri. Hampir-hampir tidak terbayangkan oleh mereka proses panjang yang harus dilakukan dari jenjang yang paling bawah untuk mencapai posisi manajer atau direktur tsb.

Sikap "jalan pintas" ini bukan hanya menyebabkan motivasi belajar yang sangat kurang, melainkan juga menyebabkan timbulnya gaya hidup yang mau banyak senang, tetapi sedikit usaha, untuk masa sepanjang hidup mereka. Dengan perkataan lain, anak-anak ini selamanya akan hidup di alam mimpi yang sangat rawan frustrasi dan akibat dari frustrasi ini bisa timbul banyak masalah lain3.
Teori Brofenbrenner

Untuk memahami mengapa anak-anak bersikap jalan pintas sehingga malas belajar (banyak yang sejak SD), dan untuk membantu orangtua mencari cara pencegahan serta jalan keluarnya, saya mengajak anda sekalian untuk mengkaji sebuah teori yang dikemukakan oleh Brofenbrenner4.

Teori Brofenbrenner yang berparadigma lingkungan (ekologi) ini menyatakan bahwa perilaku seseorang (termasuk perilaku malas belajar pada anak) tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan dampak dari interaksi orang yang bersangkutan dengan lingkungan di luarnya.

Adapun lingkungan di luar diri orang (dalam makalah ini selanjutnya akan difokuskan pada anak atau siswa SD-SLTA) oleh Brofenbrenner di bagi dalam beberapa lingkaran yang berlapis-lapis (lihat diagram**):

1. Lingkaran pertama adalah yang paling dekat dengan pribadi anak, yaitu lingkaran sistem mikro yang terdiri dari keluarga, sekolah, guru, tempat penitipan anak, teman bermain, tetangga, rumah, tempat bermain dan sebagainya yang sehari-hari ditemui oleh anak.

2. Lingkaran kedua adalah interaksi antar faktor-faktor dalam sistem mikro (hubungan orangtua-guru, orangtua-teman, antar teman, guru-teman dsb.) yang dinamakannya sistem meso.

3. Di luar sistem mikro dan meso, ada lingkaran ketiga yang disebut sistem exo, yaitu lingkaran lebih luar lagi, yang tidak langsung menyentuh pribadi anak, akan tetapi masih besar pengaruhnya, seperti keluarga besar, polisi, POMG, dokter, koran, televisi dsb.

4. Akhirnya, lingkaran yang paling luar adalah sistem makro, yang terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum, adat, budaya dsb.

Makalah ini, dengan mengikuti teori Brofenbrenner tersebut di atas, akan menguraikan bagaimana sistem makro yang terjadi di dunia dan Indonesia, melalui sistem-sistem lain yang lebih kecil (exo, meso dan mikro) berpengaruh pada kepribadian dan perilaku anak, termasuk perilaku malas belajar yang sedang kita biacarakan ini.
Sistem Makro

Kiranya hampir semua orangtua dan pendidik (dan semua orang juga) merasakan bahwa jaman sekarang ini terlalu banyak sekali perubahan. Para orangtua dari generasi "Tembang Kenangan" tidak bisa mengerti, apalagi menikmati, lagu-lagu favorit anak-anak mereka yang dibawakan oleh Dewa atau Westlife group. Bahkan generasi yang remaja di tahun 1980-an (generasi Stevie Wonder, Lionel Richie) juga sulit menerima lagu-lagu sekarang. Sulitnya, di kalangan generasi muda sendiri juga terdapat banyak versi musik (rap, reggae, house, salsa dsb.) yang masing-masing punya penggemar masing-masing. Di sisi lain musik-musik tradisional seperti keromcong dan gending Jawa, juga mengalami perubahan versi sehingga muncul musik campur-sari yang sekarang sedang populer di masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk generasi mudanya. Sementara itu, musik dangdut, yang tadinya monopoli masyarakat lapis bawah, justru berkembang menjadi lebih universal dengan mulai memasuki dunia kelas menengah atas.

Perubahan-perubahan yang drastis dan sekaligus banyak ini juga terjadi pada bidang-bidang lain. Wayang orang dan wayang kulit yang saya gemari di masa kecil dan merupakan kegemaran juga dari ayah saya dan nenek-moyang saya, sekarang praktis tidak mempunyai lahan hidup lagi. Modifikasi dari kesenian tradisional (wayang kulit berbahasa Indonesia dan berdurasi hanya 2 jam diselingi musik dang dut, atau ketoprak humor), hanya bisa mengembangkan penggemarnya sendiri tanpa bisa mengangkat kembali kesenian tradisional sebagai mana bentuk aslinya.

Dalam setiap sektor kehidupan yang lain pun terdapat perubahan yang cepat. Karena itu jangan heran jika istilah-istilah "prokem" di jaman tahun 1980-an sudah tidak dimengerti lagi oleh anak-anak "gaul" angkatan 1990-an yang punya gaya bahasa "funky" tersendiri. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi perkembangannya adalah yang paling cepat. Anak SD sekarang sudah terampil menggunakan komputer, sedangkan eyang-eyang mereka menggunakan HP saja masih sering salah pencet. Video Betamax yang sangat modern di tahun 1980-an, sekarang sudah menjadi barang musium dengan adanya VCD (Video Digital Disc) dan yang terbaru DVD (Digital Video Disc; yang sebentar lagi pasti akan usang juga).

Dampak dari perubahan cepat ini sangat dahsyat sekali. Jika dalam bidang sosial budaya kita hanya mengamati kekacauan yang sulit dimengerti, dalam politik, perkembangan dan perubahan yang teramat sangat cepat ini telah meruntuhkan beberapa negara (Rusia, Yugoslavia), setidak-tidaknya telah menimbulkan banyak konflik yang menggoyangkan stabilitas dalam negeri dan menelan banyak korban harta dan jiwa (seperti yang sedang terjadi di Indonesia).

Para ilmuwan, setelah menganilis situasi yang dahsyat di seluruh dunia tsb. di atas, menyimpulkan bahwa saat ini kita sedang memasuki era Postmodernism (disingkat: Posmo)5 . Menurut para pemikir Posmo, jaman sekarang kira-kira sama dahsyatnya dengan jaman revolusi industri (ditemukannya mesin uap, listrik, mesiu dsb.) di akhir abad XIX yang juga berdampak berbagai peperangan, revolusi (perancis, Rusia), depresi ekonomi, kemerdekaan berbagai negara kolonial, penyakit menular dsb. yang kemudian kita kenal sebagai jaman modern. Perbedaan antara jaman modern dengan jaman sebelumnya adalah bahwa kendali kekuasaan (dalam bidang sosial, budaya, ekonomi dan politik) beralih ke tangan-tangan pemilik modal, pekerja, pemikir dsb., dari penguasa sebelumnya yaitu para raja, bangsawan, tuan tanah dsb. Dalam bidang musik misalnya, supremasi Beethoven sudah diambil alih oleh Elvis Presley, sedangkan kekuasaan Paus di Roma sudah tersaingi oleh berbagai versi agama Kristen lain yang tersebar di seluruh dunia (termasuk versi Katolik Roma di Philipina, misalnya). Di Jawa, misalnya, pusat kebudayaan di Kraton Mataram6, segera beralih ke Ismail Marzuki dan Chaeril Anwar setelah revolusi kemerdekaan. Dalam politik, ideologi yang berdasarkan feodalisme beralih ke ideologi komunisme (revolusi Rusia) atau liberalisme (revolusi kemerdekaan Amerika Serikat). Tetapi di zaman tradisional maupun di zaman modern, masih terasa adanya pusat-pusat kekuasaan, yang oleh manusia (dari sudut pandang psikologi) sangat diperlukan sebagai patokan atau pedoman hidup, sebagai tolok ukur untuk menilai mana yang benar atau salah, baik atau buruk, indah atau jelek.

Di dalam politik, misalnya, sampai dengan awal tahun 1990-an masih ada dua kekuatan utama di dunia (super powers) yaitu blok Barat (AS dan Eropa Barat) dan blok Timur. Upaya negara-negara dunia ke-3 untuk membangun KTT Non-Blok tidak banyak artinya, karena anggota-anggotanya tetap saja terpecah antara yang condong ke Blok Barat dan Blok Timur.

Tetapi di jaman Posmo ini, tidak ada lagi pusat-pusat kekuasaan seperti itu. Tidak ada tokoh, aliran, partai politik, ideologi, dan sebagainya yang mampu menonjol atau dominan dalam waktu yang cukup lama. Semua orang, aliran, ideologi dsb. bisa bisa timbul-tenggelam setiap saat. Bahkan agama pun, yang merupakan pranata yang paling konservatif, berubah-ubah dengan cepat sekali dengan timbul-tenggelamnya berbagai aliran, sekte dan bahkan agama-agama baru. Maka dapat dimengerti bahwa masyarakat awam di lapis bawah akan terperangkap dalam kebingungan-kebingungan karena hampir tidak ada tolok ukur yang dapat dijadikan pegangan dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari.
Sistem Exo

Pengaruh Posmo pada sistem exo dapat dilihat dan dirasakan dengan perubahan drastis dalam berbagai pranata sosial, politik dan ekonomi. Di Indonesia kita dapat menyimaknya dalam berbagai gejala seperti berubahnya fungsi Polri dari aparat pertahanan dan keamanan menjadi fungsi keamanan, ketertiban dan penegakkan hukum (karena itu Polri keluar dari ABRI). Dalam bidang perekonomian, pemerintah kehilangan kendalinya terhadap sistem moneter, karena begitu banyaknya yang bisa ikut bermain dalam sistem moneter, sehingga nilai valuta asing menjadi sangat fluktuatif. Dalam bidang pendidikan, sistem pendidikan nasional, yang tadinya seragam untuk seluruh Indonesia, makin bervariasi dengan banyaknya sekolah yang berorientasi pada bermacam-macam agama, sekolah yang bekerja sama dengan luar negeri, sekolah-sekolah alternatif yang dikelola LSM dan sebagainya, sementara di tingkat perguruan tinggi berkembang terus-menerus berbagai gelar baru (bahkan ada gelar-gelar palsu) dan peraturan-peraturan Depdiknas pun berubah-ubah setiap saat.

Di bidang media massa dan sarana komunikasi dan perhubungan, terdapat makin banyak alternatif. Jika di tahun 1960-an hanya ada radio dan telpon yang diputar dengan tangan dan hubungan ke luar Jawa sangat langka dan lama, sekarang sudah tersedia berbagai alternatif seperti televisi fax (dari satu stasiun saja di tahun 1963, menjadi puluhan stasiun dengan sarana satelit), HP, internet, fax, bus antar propinsi (dari Banda Aceh sampai Kupang), pesawat udara (sehingga Jakarta-Jayapura hanya beberapa jam saja) dsb., sehingga hampir tidak ada lagi daerah yang masih terisolir seperti Kabupaten Lebak di zaman Max Havelaar.

Dalam bidang kehidupan berkeluarga, sistem kekerabatan (keluarga besar) sudah makin ditinggalkan orang dan beralih ke pada sistem keluarga inti. Bahkan akhir-akhir ini sudah banyak orang yang memilih untuk tidak menikah (single family) atau menjadi orangtua tunggal (single parent family). Rata-rata usia menikah makin meningkat (di kalangan menengah-ke atas sudah mencapai 26 tahun dan 30 tahun bagi wanita dan pria). Psangan nikah pun ditentukan sendiri oleh anak, bukan orangtua. Upacara-upacara perkawinan masih dilakukan secara tradisional, tetapi hanya simbolik saja, karena upacara-upacara itu sama sekali tidak mencerminkan kehidupan yang sesungguhnya dari pasangan yang bersangkutan (uoacaranya berbahasa Jawa, padahal pengantin sama sekali tidak mengerti bahasa Jawa, bahkan sangat boleh jadi psangan sudah berhubungan seks jauh sebelum upacara adat yang disakralkan itu).
Sistem Meso dan Mikro

Yang dimaksud dengan sistem Mikro adalah orang-orang yang terdekat dengan anak dan setiap hari berhubungan dengan anak (ayah-ibu, kakak-adik, oom, tante, opa, pembantu, supir, teman sekolah, guru dsb.), maupun tempat-tempat di mana anak sehari-hari berada (rumah, lingkungan tetangga, kebun, sekolah, kota dsb.). Interaksi antara unsur-unsur dalam sistem Mikro tersebut dinamakan sistem Meso.

Sehubungan dengan berkembangnya Posmo (yang oleh Alvin Toffler dinamakan "The Third Wave" QUOTATION), maka sistem Mikro dan Meso anak juga akan berubah drastis. Orangtua, guru, guru ngaji, orangtuanya teman-teman, apalagi televisi, tidak lagi satu bahasa dan seia-sekata dalam mendidik anak-anak. Di masa lalu, setiap ucapan orangtua hampir selalu konsisten dengan arahan guru di sekolah atau omongan orang-orang di surau atau di pasar. Tetapi sekarang apa yang dikatakan orangtua sangat berbeda dengan yang ditayangkan di TV, atau dengan omongan orangtuanya teman, atau nasihat ibu guru. Bahkan antara ayah dan ibu saja sering tidak sepaham, karena ibu-ibu jaman sekarang sudah sadar jender, punya penghasilan sendiri (bahkan kadang-kadang lebih besar dari suaminya), jadi merasa berhak juga untuk memutuskan dalam lingkungan rumah tangga.

Buat orangtua sendiri, yang dirasakan adalah bahwa anak tidak lagi hanya mendengarkan orangtua sendiri. Anak makin sering membantah, bahkan melawan orangtua, karena ia melihat banyak contoh di luar yang tidak sama dengan apa yang dikatakan orangtuanya. Jika anak dilarang menyetir pad usia 14 tahun, ia segera bisa menunjuk anak lain yang diijinkan nyetir sejak SD; jika anak disuruh sholat, ia segera mengacu pada Pak De-nya yang tidak sholat. jika ia dilarang pulang malam, ia malah pulang pagi, karena semua temannya mengajaknya ke disko atau ke kafe.
Anak

Sementara itu, anak sendiri tetap saja anak seperti sejak jaman dahulu kala. Semasa kecil anak-anak membentuk kepribadiannya melalui masukan dari lingkungan primernya (keluarga). Sampai usia 5-8 tahun ia masih menerima masukan-masukan (tahap formative). Menjelang remaja (usia ABG) ia mulai memberontak dan mencari jati dirinya dan akan makin menajam ketika ia remaja (makin sulit diatur) sehingga masa ini sering dinamakan masa pancaroba.

Masa pancaroba ini pada hakikatnya merupakan tahap akhir sebelum anak memasuki usia dewasa yang matang dan bertanggung jawab, karena ia sudah mengetahui tolok ukur yang harus diikuti dan mampu menetapkan sendiri mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk dan mana yang indah dan jelek.

Tetapi masa pancaroba dalam diri individu itu akan lebih sulit mencapai kemantapan dan kematangan jika kondisi di dunia luar juga pancaroba terus, seperti halnya di era Posmo ini. Dampaknya adalah timbulnya generasi remaja dan dewasa muda yang terus berpancaroba sampai dewasa. Generasi inilah yang saya temui di ruang praktek dengan kebingungan memilih jurusan yang mana, bimbang karena pacarnya tidak disetujui orangtua, kehabisan akal karena hamil di luar nikah atau karena tidak bisa keluar dari kebiasaan menyalah gunakan Narkoba.
Perubahan Paradigma

Menghadapi era Posmo yang serba tidak jelas ini, kesalahan paling besar, tetapi yang justru paling sering dilakukan, adalah mendidik anak berdasarkan tradisi lama dan tanpa alternatif. Artinya, semua yang diajarkan oleh orangtua mutlak harus diikuti, orangtua penya hak dan kekuasaan atas anak, anak harus berbakti kepada orangtua dsb. Di sekolah para guru pun masih sering berpatokan pada pepatah "guru adalah digugu/dipatuhi dan ditiru), sehingga benar atau salah guru harus selaludipatuhi. Demikian pula dalam bidang agama, bahkan politik (masing-masing elit politik dan kelompok mahasiswa merasa dialah yang paling benar).

Jika dihadapakan terus-menerus dengan pendekatan otoriiter, maka anak-anak yang sedangserba kebingungan akan makin bingung sehingga makin tidak percaya diri, atau justru makin memberontak dan menjadi pelanggar hukum. Karena itu dalam era sistem Makro yang diwaranai oleh Posmo ini, pendidikan pada anak harus berorientasi pada pengembangan kemampuan anak untuk membuat penilaian dan keputusan (judgement) sendiri secara tepat dan cepat. Dengan perkataan lain, anak harus dididik untuk menilai sendiri yang mana yang benar/salah, baik/tidak baik atau indah/jelek dan atas dasar itu ia memutuskan perbuatan mana yang terbaik untuk dirinya sendiri. Anak yang dididik untuk selalu mentaati perintah orangtua, dalam pemberrontakannya akan mencari orang lain atau pihak lain (dalam sistem Mikro-nya) yang bisa dijadikannya acuan baru dan selanjutnya ia akan mentaati saja ajakan atau arahan orang lain itu (yang sangat boleh jadi justru menjerumuskan).
Penutup

Harus diakui bahwa menjadi orangtua atau pendidik jaman sekarang sangat sulit. Pertama, karena kebanyakan orantua belum pernah mengalami situasi seperti sekarang ini di masa kecilnya; kedua, karena mereka cenderung meniru saja cara-cara mendidik yang dilakukan oleh orangtua atau senior merekasendiri di masa lalu; dan yang ketiga, memang sangat sulit untuk mengubah pola pikir seseorang dari pola pikir tradisional dan pola pikir alternatif sesuai dengan tuntutan jaman sekarang.

Tetapi bagaimana pun berat dan sulitnya, upaya itu harus dilakukan, karena kalau tidak maka kita akan menjerumuskan generasi muda kita dalam kesulitan yang lebih besar.
Read more...

Studi Kasus Untuk Bimbingan Konseling

Bahan ini cocok untuk Sekolah Menengah.
Nama & E-mail: Slameto
Saya Dosen di UKSW salatiga
Tanggal: 8 Mei 2002
Judul Artikel: Memahami dan Menolong Siswa Yang Kurang PD
Topik: Studi Kasus Untuk Bimbingan Konseling.
Artikel:
DESKRIPSI KASUS

Lia (bukan nama sebenarnya) adalah siswa kelas I SMU Favorit Salatiga yang barusan naik kelas II. Ia berasal dari keluarga petani yang terbilang cukup secara sosial ekonomi di desa pedalaman + 17 km di luar kota Salatiga, sebagai anak pertama semula orang tuanya berkeberatan setamat SLTP anaknya melanjutkan ke SMU di Salatiga; orang tua sebetulnya berharap agar anaknya tidak perlu susah-sudah melanjutkan sekolah ke kota, tapi atas bujukan wali kelas anaknya saat pengambilan STTB dengan berat merelakan anaknya melanjutkan sekolah. Pertimbangan wali kelasnya karena Lia terbilang cerdas diantara teman-teman yang lain sehingga wajar jika bisa diterima di SMU favorit. Sejak diterima di SMU favorit di satu fihak Lia bangga sebagai anak desa toh bisa diterima, tetapi di lain fihak mulai minder dengan teman-temannya yang sebagian besar dari keluarga kaya dengan pola pergaulan yang begitu beda dengan latar belakang Lia. Ia menganggap teman-teman dari keluarga kaya tersebut sebagai orang yang egois, kurang bersahabat, pilih-pilih teman yang sama-sama dari keluarga kaya saja, dan sombong. Makin lama perasaan ditolak, terisolik, dan kesepian makin mencekam dan mulai timbul sikap dan anggapan sekolahnya itu bukan untuk dirinya tidak krasan, tetapi mau keluar malu dengan orang tua dan temannya sekampung; terus bertahan, susah tak ada/punya teman yang peduli. Dasar saya anak desa, anak miskin (dibanding teman-temannya di kota) hujatnya pada diri sendiri. Akhirnya benar-benar menjadi anak minder, pemalu dan serta ragu dan takut bergaul sebagaimana mestinya. Makin lama nilainya makin jatuh sehingga beban pikiran dan perasaan makin berat, sampai-sampai ragu apakah bisa naik kelas atau tidak.

MEMAHAMI LIA DALAM PERSPEKTIF RASIONAL EMOTIF
Menurut pandangan rasional emotif, manusia memiliki kemampuan inheren untuk berbuat rasional ataupun tidak rasional, manusia terlahir dengan kecenderungan yang luar biasa kuatnya berkeinginan dan mendesak agar supaya segala sesuatu terjadi demi yang terbaik bagi kehidupannya dan sama sekali menyalahkan diri sendiri, orang lain, dan dunia apabila tidak segera memperoleh apa yang diinginkannya. Akibatnya berpikir kekanak-kanakan (sebagai hal yang manunusiawi) seluruh kehidupannya, akhirnya hanya kesulitan yang luar biasa besar mampu mencapai dan memelihara tingkah laku yang realistis dan dewasa; selain itu manusia juga mempunyai kecenderungan untuk melebih-lebihkan pentingnya penerimaan orang lain yang justru menyebabkan emosinya tidak sewajarnya seringkali menyalahkan dirinya sendiri dengan cara-cara pembawaannya itu dan cara-cara merusak diri yang diperolehnya. Berpikir dan merasa itu sangat dekat dan dengan satu sama lainnya : pikiran dapat menjadi perasaan dan sebaliknya; Apa yang dipikirkan dan atau apa yang dirasakan atas sesuatu kejadian diwujudkan dalam tindakan/perilaku rasional atau irasional. Bagaimana tindakan/perilaku itu sangat mudah dipengaruhi oleh orang lain dan dorongan-doronan yang kuat untuk mempertahankan diri dan memuaskan diri sekalipun irasional.

Ciri-ciri irasional seseorang tak dapat dibuktikan kebenarannya, memainkan peranan Tuhan apa saja yang dimui harus terjadi, mengontrol dunia, dan jika tidak dapat melakukannya dianggap goblok dan tak berguna; menumbuhkan perasaan tidak nyaman (seperti kecemasan) yang sebenarnya tak perlu, tak terlalu jelek/memalukan namun dibiarkan terus berlangsung, dan menghalangi seseorang kembai ke kejadian awal dan mengubahnya. Bahkan akhirnya menimbulkan perasaan tak berdaya pada diri yang bersangkutan. Bentuk-bentuk pikiran/perasaan irasional tersebut misalnya : semua orang dilingkungan saya harus menyenangi saya, kalau ada yang tidak senang terhadap saya itu berarti malapetaka bagi saya. Itu berarti salah saya, karena saya tak berharga, tak seperti orang/teman-teman lainnya. Saya pantas menderita karena semuanya itu.

Sehubungan dengan kasus, Lia sebetulnya terlahir dengan potensi unggul, ia menjadi bermasalah karena perilakunya dikendalikan oleh pikiran/perasaan irasional; ia telah menempatkan harga diri pada konsep/kepercayaan yang salah yaitu jika kaya, semua teman memperhatikan / mendukung, peduli, dan lain-lain dan itu semua tidak ada/didapatkan sejak di SMU, sampai pada akhirnya menyalahkan dirinya sendiri dengan hujatan dan penderitaaan serta mengisolir dirinya sendiri. Ia telah berhasil membangun konsep dirinya secara tidak realistis berdasarkan anggapan yang salah terhadap (dan dari) teman-teman lingkungannya. Ia menjadi minder, pemalu, penakut dan akhirnya ragu-ragu keberhasilan/prestasinya kelak yang sebetulnya tidak perlu terjadi.

TUJUAN DAN TEKNIK KONSELING
Jika pemikiran Lia yang tidak logis / realistis (tentang konsep dirinya dan pandangannya terhadap teman-temannya) itu diperangi maka dia akan mengubahnya. Dengan demikian tujuan konseling adalah memerangi pemikiran irasional Lia yang melatar-belakangi ketakutan / kecematannya yaitu konsep dirinya yang salah beserta sikapnya terhadap teman lain. Dalam konseling konselor lebih bernuansa otoritatif : memanggil Lia, mengajak berdiskusi dan konfrontasi langsung untuk mendorongnya beranjak dari pola pikir irasional ke rasional / logis dan realistis melalui persuasif, sugestif, pemberian nasehat secara tepat, terapi dengan menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk PR serta bibliografi terapi.

Konseling kognitif : untuk menunjukkan bahwa Lia harus membongkar pola pikir irasional tentang konsep harga diri yang salah, sikap terhadap sesama teman yang salah jika ingin lebih bahagia dan sukses. Konselor lebih bergaya mengajar : memberi nasehat, konfrontasi langsung dengan peta pikir rasional-irasoonal, sugesti dan asertive training dengan simulasi diri menerapkan konsep diri yang benar dan sikap/ketergantungan pada orang lain yang benar/rasional dilanjutkan sebagai PR melatih, mengobservasi dan evaluasi diri. Contoh : mulai dari seseorang berharga bukan dari kekayaan atau jumlah dan status teman yang mendukung, tetapi pada kasih Allah dan perwujudanNya. Allah mengasihi saya, karena saya berharga dihadiratNya. Terhadap diri saya sendiri suatu saat saya senang, puas dan bangga, tetapi kadang-kadang acuh-tak acuh, bahkan adakalanya saya benci, memaki-maki diri saya sendiri, sehingga wajar dan realistis jika sejumlah 40 orang teman satu kelas misalnya ada + 40% yang baik, 50% netral, hanya 10% saja yang membeci saya. Adalah tidak mungkin menuntut semua / setiap orang setiap saat baik pada saya, dan seterusnya. Ide-ide ini diajarkan, dan dilatihkan dengan pendekatan ilmiah.

Konseling emotif-evolatif untuk mengubah sistem nilai Lia dengan menggunakan teknik penyadaran antara yang benar dan salah seperti pemberian contoh, bermain peran, dan pelepasan beban agar Lia melepaskan pikiran dan perasaannya yang tidak rasional dan menggantinya dengan yang rasional sebagai kelanjutan teknik kognitif di atas. Konseling behavioritas digunakan untuk mengubah perilaku yang negatif dengan merobah akar-akar keyakinan Lia yang irasional/tak logis kontrak reinforcemen, sosial modeling dan relaksasi/meditasi.

PENUTUP
Teori ini dalam menolong menggunakan pendekatan direct menggunakan nasehat yang ditandai oleh menyerang masalah dengan intektual dan meyakinkan (koselor). Tekniknya jelas, teliti, makin melihat/menyadari pikiran dan kata-kata yang terus menerus ditujukan kepada diri sendiri, yang membawa kehancuran kepada diri sendiri. Cara konselor ialah dengan pendekatan yang tegas, memintakan perhatian kepada pikiran-pikiran yang menjadi sebab gangguan itu dan bagaimana pikiran dan kalimat itu beroperasi hingga membawa akibat yang merugikan. Konselor selanjutnya menolong dia untuk memikir kembali, menantang, mendebat, menyebutkan kembali kalimat-kalimat yang merugikan itu, dan dengan cara demikian ia membawa klien ke kesadaran dan tilikan baru. Tetapi tilikan dan kesadaran tidak cukup. Ia harus dilatih untuk berpikir dan berkata kepada diri sendiri hal-hal yang lebih positive dan realistik. Terapis mengajar klien untuk berpikir betul dan bertindak efektif. Teknik yang dipakai bersifat eklektif dengan pertimbangan :

1. Ekonomis dari segi waktu baik bagi konselor maupun konseli
2. Efektifitas teknis-teknis yang dipakai cocok untuk bermacam ragam konseli
3. Kesegaran hasil yang dicapai,
4. Kedalaman dan tanah lama serta dapat dipakai konseli untuk mengkonseling dirinya sendiri kalah.

Kesimpulannya, penstrukturan kembali filosofis untuk merubah kepribadian yang salah berfungsi menyangkut langkah-langkah sebagai berikut : (1) mengakui sepenuhnya bahwa kita sebagian besar bertanggungjawab penciptaan masalah-masalah kita sendiri; (2) menerima pengertian bahwa kita mempunyai kemampuan untuk merubah gangguan-gangguan secara berarti; (3) menyadari bahwa problem-problem dan emosi kita berasal dari kepercayaan-kepercayaan tidak rasional ; (4) mempersepsi dengan jelas kepercayaan-kepercayaan ini; (5) menerima kenyataan bahwa, jika kita mengharap untuk berubah, kita lebih baik harus menangani cara-cara tingkah laku dan emosi untuk tindak balasan kepada kepercayaan-kepercayaan kita dan perasaan-perasan yang salah fungsi dan tindakan-tindakan yang mengikuti; dan (6) mempraktekkan metode-metode RET untuk menghilangkan atau merubah konsekuensi-konsekuensi yang terganggu pada sisa waktu hidup kita ini.
Read more...